Di Indonesia, agama yang mengikuti ajaran Buddha secara umum disebut 'Agama Buddha', namun sering juga disebut "Buddhisme" karena adaptasi linguistik dan pengaruh terminologi global yang sebenarnya merupakan penyebutan yang salah. Istilah "Buddhisme" di Indonesia merupakan adaptasi dari kata bahasa Inggris "Buddhism", yang oleh Belanda diadopsi sebagai "Boeddhism". Ketika bahasa Indonesia dibakukan, banyak istilah yang dipinjam atau diadaptasi dari bahasa Belanda (dan, secara tidak langsung, bahasa Inggris). Oleh karena itu, "Buddhisme" merupakan suatu evolusi linguistik, tanpa ada upaya tambahan terjemahan yang didasari dengan pemahaman konteks dan artinya. "Buddhisme" (atau "Buddhism") adalah istilah yang secara historis tidak akurat, yang berakar pada pengaruh kolonial, dan istilah ini telah diadopsi dan dinormalisasi secara luas di negara kita. Memilih memperluas penggunaan istilah "Buddhadharma" daripada 'Buddhisme' adalah usaha yang sudah sepatutnya terapresiasi dan dihargai karena akan membetulkan kesalahkaprahan ini, mengembalikan keakuratan, keaslian budaya, dan keabsahan istilah berdasarkan pemahaman yang lebih sesuai tentang ajaran Buddha. Dengan menumbuhkan kesadaran dan dialog, pergeseran bertahap menuju penggunaan istilah Buddhadharma yang lebih tepat dalam bahasa kita ini akan dapat terjadi dan membawa manfaat. AWAL PENGGUNAAN ISTILAH 'BUDDHISM'Istilah "Buddhism", Buddhisme dalam bahasa Indonesia, diciptakan dalam bahasa Inggris pada awal abad ke-19 oleh para cendekiawan Eropa dan misionaris Kristen yang mempelajari dan mendokumentasikan budaya dan agama-agama Asia. Istilah ini mulai dikenal sebagai cara untuk mengategorikan dan menggambarkan tradisi, ajaran serta pelatihannya yang berasal dari Siddharta Gautama, Sang Buddha. Secara khusus, Istilah "Buddhism" pertama kali diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1800 melalui terjemahan "Lectures on History" oleh Count Constantin-François de Volney. Dalam karya ini, de Volney menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan sistem keagamaan yang didasarkan pada ajaran Buddha (dalam Almond, P.C. 2022: How the West discovered the Buddha through literature, Scroll.in). Istilah tersebut kemudian mulai muncul dalam teks-teks Barat sekitar tahun 1830-an. Populernya "Buddhism" sebagai istilah mencerminkan meningkatnya minat pada agama komparatif selama era kolonial, terutama seiring meningkatnya keterlibatan Eropa dengan Asia Selatan, Tenggara dan Asia Timur. BUKAN SEBAGAI AGAMAKetika para cendekiawan Eropa dan misionaris Kristen pada awal abad ke-19 mulai mempelajari budaya Asia, termasuk ajaran Buddha, mereka sering kali memandang tradisi-tradisi ini melalui sudut pandang kerangka keagamaan mereka sendiri. Perbandingan dan kategorisasi ini mendasari dan menyebabkan terciptanya istilah "Buddhism", suatu 'isme' tentang Buddha, yang membedakannya dari 'Agama Kristen - Christian religion – “Christianity" dan agama-agama lainnya yang mereka kenal. 1. Sudut Pandang Keagamaan Eropa: Orang Eropa terbiasa melihat agama sebagai sistem yang berpusat pada penyembahan kepada Tuhan (God), dengan doktrin, teks suci, dan lembaga terorganisasi yang sepadan dengan agama Kristen. Ajaran Buddha, yang tidak berpusat pada pencipta, tampak asing dan tidak "religius" dalam pengertian Barat. Akibatnya, mereka sering mengategorikan agama Buddha sebagai filsafat atau sistem moral, bukan agama. 2. Kerangka "-isme": Akhiran "ism" - "isme" umumnya digunakan oleh orang Eropa untuk menggambarkan ideologi, sistem, atau gerakan. Dalam bahasa Indonesia (KBBI), akhiran "isme" sendiri adalah 'sufiks pembentuk nomina' yang membentuk arti sebagai suatu 'sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi: terorisme; liberalisme; kapitalisme; sosialisme; komunisme. Jelas sufiks 'isme' ini tidak padan untuk digunakan dalam konteks agama Buddha. Penerapan akhiran "isme" pada agama Buddha membingkainya sebagai sistem pemikiran atau praktik, bukan "iman" atau agama dalam pengertian Kristen. Dengan menciptakan istilah "Buddhism," mereka berusaha menciptakan istilah yang dapat mengategorikan ajaran Buddha dalam paradigma Barat, membandingkan dan membedakannya dengan dasar "Christianity" - Agama Kristen. 3. Kontras dengan Teisme: Para misionaris Kristen sering menganggap tidak ditonjolkannya tentang pencipta dalam agama Buddha sebagai perbedaan utama dari keyakinan mereka sendiri. Hal ini mengarah pada gagasan bahwa agama Buddha bukanlah "agama", melainkan sistem etika atau filosofis. Perbedaan ini juga memungkinkan para misionaris untuk memperdebatkan keunggulan agama Kristen dengan menggambarkannya sebagai "agama sejati" dengan Tuhan pribadi. 4. Pertemuan Awal dengan Teks dan Praktik di Asia: Terjemahan awal teks Buddha dan praktik monastik Buddha menekankan aspek etika, filosofi dan semadi dalam agama Buddha, bukan unsur ritual atau pengabdiannya. Hal ini memperkuat persepsi agama Buddha sebagai "cara hidup", bukan agama. 5. Konteks Budaya dan Politik: Abad ke-19 juga merupakan puncak ekspansi kolonial. Cendekiawan dan misionaris Eropa sering kali didorong oleh kombinasi keingintahuan intelektual dan keinginan untuk mengubah populasi non-Kristen. Dengan melabel agama Buddha sebagai sesuatu yang bukan agama, mereka dapat membenarkan kegiatan misionaris sebagai upaya membawa "agama sejati" ke tradisi "filosofis" atau "etika". KESALAHPAHAMANMeskipun istilah "Buddhism - Buddhisme" menyebar luas, istilah tersebut dapat dikatakan salah menggambarkan tradisi tersebut dengan memaksakan kerangka konseptual Barat. Bagi umat Buddha, jalan mereka lebih tepat digambarkan sebagai mengikuti Dharma—jalan praktis dan spiritual menuju pembebasan dan penggugahan, yang berakar dalam ritual, praktik, dan komunitas (Sangha), mirip dengan apa yang dipahami banyak orang sebagai "agama." Istilah "Buddhisme" mencerminkan upaya Eropa untuk memahami dan mengategorikan ajaran Buddha dalam kerangka budaya dan agama mereka. Ajaran Buddha ini dibandingkan dan mengontraskannya dengan agama Kristen dengan menekankan perbedaan yang dirasakan, seperti pengertian tentang Tuhan, fokus pada realisasi diri, dan sifat filosofis ajarannya. Pendekatan ini terlalu menyederhanakan atau salah memahami sifat tradisi ajaran Buddha yang dalam dan beraneka ragam. BAGI UMAT BUDDHAUmat Buddha secara historis maupun masa kini umumnya tidak menggunakan istilah asing "Buddhism - Buddhisme" untuk merujuk pada agama mereka. Kebanyakan mereka menggunakan istilah yang berasal dari bahasa lokal mereka yang menekankan ajaran (Dharma) atau jalan Sang Buddha. Istilah-istilah ini bervariasi menurut wilayah dan tradisi bahasa. India (Konteks Sejarah):
Sri Lanka dan negara penganut tradisi Theravada (misalnya, Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja):
Asia Timur (Tiongkok, Jepang, Korea, Vietnam):
Daerah Tibet, Mongolia, Bhutan dan Himalaya:
Penggunaan Terkini di Seluruh Dunia:
BUDDHADHARMA, bukan BUDDHISMEBaik secara historis maupun saat ini, umat Buddha terutama mengidentifikasi diri dengan Sang Buddha, ajaran-ajaran Sang Buddha (Dharma) dan komunitasnya (Sangha) dan bukan dengan suatu ideologi atau sistem kepercayaan berlabel "Buddhisme". Menggunakan istilah Buddhadharma akan jauh lebih tepat daripada “Buddhisme” karena berakar pada maknanya, konteks budaya, dan keselarasannya dengan prinsip-prinsip Buddha: 1. Akurasi Etimologis:
2. Koneksi ke Ajaran Inti: "Buddhadharma" menekankan pentingnya ajaran Buddha (Dharma) dan penerapannya dalam kehidupan kita. Hal ini mencerminkan sifat pengamalan agama Buddha yang berfokus pada pengenalan realitas keberadaan melalui penghayatan etika, pengembangan keterampilan hidup dan kewaskitaan, bukan doktrin, dogma atau '-isme' yang merujuk pada ideologi yang baku. 3. Keaslian Budaya dan Sejarah:
4. Inklusivitas dan Universalitas: Istilah ini juga mencakup kebenaran atau kenyataan universal yang diajarkan oleh Buddha, yang berlaku bagi siapa saja tanpa memandang identitas budaya atau agama. Istilah ini menekankan universalitas Dharma, mengenal realitas yang sebenarnya ada, sebagai panduan untuk menanggulangi kesalah-pengertian, penyebab utama penderitaan, bukan sekedar agama atau entitas budaya tertentu. 5. Sesuai dengan Identitas Praktisi:
6. Menghindari Implikasi "-isme":
Penggunaan Buddhadharma akan lebih tepat karena berdasarkan konteks historis, budaya, dan spiritual dari tradisi Buddhis dan menghindari kerangka 'Barat-sentris' yang disampaikan oleh istilah "Buddhisme". Buddhadharma mencerminkan dan menekankan pada ajaran inti dan penerapannya, yang lebih mewakili esensi jalan sebagaimana dipahami oleh para praktisi. Oleh karena itu, bukankah sudah saatnya jika kita semua mulai menggunakan dan menganjurkan yang lain untuk menggunakan istilah yang lebih tepat, Buddhadharma, daripada menggunakan istilah 'Buddhisme' yang tidak hanya suatu sebutan yang salah kaprah tetapi juga merupakan relik peninggalan cara pikir dan pengertian zaman kolonial itu. Salim Lee BUMI BOROBUDUR, DESEMBER 2024 |
KEMBALI | DOWNLOAD |